Perbankansyariah.umsida.ac.id – Pemerintah melalui Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa mengambil langkah strategis dengan menarik dana sebesar Rp200 triliun dari kas negara di Bank Indonesia (BI).
Baca Juga:Masyarakat Harus Aktif Jaga Rupiah di Tengah Ketidakpastian Ekonomi
Dana jumbo tersebut kemudian disalurkan ke bank-bank milik negara (Himbara) serta Bank Syariah Indonesia (BSI). Kebijakan ini diharapkan mampu meredakan tekanan likuiditas perbankan, menurunkan biaya dana, sekaligus memperluas akses kredit produktif ke sektor riil.
Langkah besar tersebut langsung menjadi perhatian publik. Di satu sisi, injeksi dana diyakini akan memperkuat stabilitas sistem keuangan dan mendorong pertumbuhan ekonomi. Namun di sisi lain, sejumlah pengamat mengingatkan adanya potensi risiko, baik dari sisi inflasi maupun efektivitas penyaluran, apabila dana tersebut tidak benar-benar masuk ke sektor produktif.
Momentum Perbankan Syariah Perluas Pembiayaan
Bagi Bank Syariah Indonesia (BSI), suntikan dana jumbo ini merupakan momentum penting untuk memperkuat peran intermediasi keuangan syariah. Likuiditas tambahan memberi ruang lebih luas bagi BSI untuk menyalurkan pembiayaan sesuai prinsip syariah, terutama kepada sektor UMKM, koperasi, hingga usaha berbasis komunitas yang selama ini menjadi tulang punggung perekonomian nasional.
Data sepanjang 2024 menunjukkan BSI berhasil mencatat pertumbuhan aset dan Dana Pihak Ketiga (DPK) yang cukup signifikan. Dengan tambahan Rp200 triliun, bank syariah terbesar di Indonesia itu memiliki peluang memperluas portofolio pembiayaan, tidak hanya untuk sektor konsumtif tetapi juga untuk usaha produktif yang sejalan dengan prinsip keadilan dan keberlanjutan.
Namun demikian, tantangan tetap ada. Penyaluran dana berskala jumbo harus diiringi manajemen risiko yang ketat. Kaprodi Perbankan Syariah Umsida menilai, keberhasilan BSI terletak pada kemampuannya memastikan dana benar-benar terserap di sektor produktif. “Suntikan dana ini jangan sampai hanya mempertebal neraca. BSI harus mampu menjadikannya sebagai instrumen untuk memperkuat ekonomi rakyat,” ujarnya.
Potensi Ekonomi Riil dan Risiko Inflasi
Secara makro, injeksi dana Rp200 triliun berpotensi meningkatkan permintaan agregat, mendorong konsumsi rumah tangga, serta memperluas investasi di sektor riil. UMKM dan koperasi desa diperkirakan menjadi pihak yang paling merasakan manfaat karena akses pembiayaan bisa lebih murah. Hal ini juga sejalan dengan semangat ekonomi syariah yang menekankan pemerataan, inklusi, dan keberlanjutan.
Meski demikian, risiko tetap perlu diwaspadai. Jika penyaluran kredit tidak diimbangi dengan peningkatan kapasitas produksi, suntikan dana justru dapat memicu tekanan inflasi. Bahkan, ada kemungkinan dana kembali mengendap di instrumen keuangan yang lebih aman seperti Surat Berharga Negara (SBN) atau SRBI. Apabila hal itu terjadi, efek pengganda (multiplier effect) ke sektor riil akan minim, sehingga tujuan kebijakan tidak tercapai.
Kaprodi Perbankan Syariah Umsida menegaskan pentingnya keselarasan antara kebijakan fiskal dan moneter. “Dana sebesar Rp200 triliun hanya akan memberi dampak nyata bila benar-benar menyentuh sektor produktif. Di sinilah perbankan syariah harus hadir dengan model pembiayaan yang lebih adil dan memberdayakan,” tambahnya.
Ujian Reformasi Perbankan Nasional
Lebih jauh, kebijakan ini bukan sekadar soal likuiditas, melainkan juga ujian besar bagi model intermediasi perbankan nasional. Himbara maupun BSI dituntut untuk keluar dari zona nyaman. Tidak cukup hanya mengandalkan pembiayaan korporasi atau instrumen aman, mereka harus berani menyalurkan dana ke UMKM, koperasi, dan desa-desa yang selama ini masih terpinggirkan.
Jika kebijakan ini berhasil, suntikan Rp200 triliun dapat menjadi katalis reformasi sistem keuangan nasional sekaligus memperkuat inklusi keuangan syariah. Namun bila gagal, perbankan hanya akan berperan sebagai penampung dana murah tanpa kontribusi signifikan terhadap perekonomian rakyat. Konsekuensinya, risiko fiskal dan moneter justru akan ditanggung masyarakat luas.
Dalam konteks perbankan syariah, keberhasilan kebijakan ini memiliki makna yang lebih besar. Selain memperkuat daya tahan likuiditas, BSI diharapkan mampu menjadikan dana tersebut sebagai sarana untuk menegakkan nilai-nilai keadilan sosial, distribusi ekonomi yang merata, serta pemberdayaan masyarakat berbasis prinsip syariah.
Dengan demikian, suntikan Rp200 triliun dari pemerintah bukan hanya stimulus likuiditas, tetapi juga cermin sejauh mana sistem perbankan Indonesia, termasuk perbankan syariah, mampu memainkan peran nyata dalam mendukung perekonomian nasional.
Baca Juga:Alat Pembakaran Sampah Tanpa Asap, Inovasi Dosen Umsida Tekan Masalah Sampah
Ke depan, tantangan terbesar bagi Himbara dan BSI bukan sekadar menjaga neraca, melainkan memastikan dana ini benar-benar mengalir ke sektor riil dan memberikan manfaat langsung bagi masyarakat.
Penulis: Akhmad Hasbul Wafi