Perbankansyariah.umsida.ac.id – Kebijakan ekonomi proteksionis Donald Trump saat menjabat Presiden Amerika Serikat, khususnya pengenaan tarif impor resiprokal hingga 32%, dinilai menimbulkan dampak signifikan terhadap kestabilan perdagangan global, termasuk bagi Indonesia. Menanggapi fenomena ini, Kaprodi Perbankan Syariah Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Sidoarjo (FAI Umsida), Ninda Ardiani SE MSE, memberikan perspektif kritis melalui sudut pandang ekonomi syariah.
Dampak Tarif Impor Trump terhadap Perekonomian Nasional
Menurut Ninda, eksportir Indonesia, termasuk pelaku usaha yang menjadi tulang punggung devisa negara, merasakan dampak langsung akibat kebijakan Trump. “Permintaan barang ekspor Indonesia ke AS menurun karena harga jual produk naik signifikan. Jika kondisi ini dibiarkan, stabilitas neraca perdagangan yang selama ini surplus bisa terganggu,” ujarnya.
Trump memberlakukan kebijakan “America First” sebagai bentuk respons terhadap defisit perdagangan AS dengan sejumlah negara, termasuk Indonesia. Di sisi lain, kebijakan ini dinilai memicu ketegangan global dan potensi perang dagang. Ketika devisa dari ekspor menurun, nilai tukar rupiah ikut tertekan, diikuti oleh gejolak pasar modal yang bisa memicu keluarnya dana asing.
Dalam hal ini, Bank Indonesia mengambil langkah intervensi dengan membeli Surat Berharga Negara (SBN) di pasar sekunder serta mengelola cadangan devisa lewat intervensi pasar valas guna menjaga stabilitas rupiah dan kepercayaan investor.
Perspektif Ekonomi Syariah: Keberimbangan dan Keadilan Perdagangan
Dari sudut pandang ekonomi Islam, Ninda menekankan bahwa kebijakan seperti tarif impor tinggi seharusnya tidak melenceng dari prinsip keadilan dan keberimbangan. Islam sejak masa Khalifah Umar bin Khattab RA telah mengenal sistem ‘ushr—tarif perdagangan lintas batas—yang diterapkan secara adil dan proporsional, baik untuk pedagang Muslim maupun non-Muslim.
“Ekonomi syariah mendorong perdagangan yang bebas dari penindasan dan praktik monopoli. Kebijakan tarif seharusnya bukan untuk menekan negara lain, tetapi sebagai instrumen pengawasan yang adil demi menjaga stabilitas dan moralitas pasar,” papar Ninda.
Untuk menghadapi tantangan tersebut, pemerintah Indonesia mendorong hilirisasi industri dan perluasan mitra dagang. Strategi ini bertujuan meningkatkan nilai tambah produk lokal serta memperluas pangsa pasar di luar Amerika Serikat.
Peran Strategis Lembaga Keuangan Syariah
Dalam konteks ini, Lembaga Keuangan Syariah (LKS) seperti bank syariah, BPRS, koperasi syariah, dan BMT berperan strategis dalam membentengi ekonomi nasional. Ninda menjelaskan bahwa LKS dapat memperkuat sektor riil dengan membiayai pelaku UMKM dan industri ekspor melalui skema pembiayaan berbasis profit-loss sharing seperti mudharabah, musyarakah, dan murabahah.
“Keunggulan keuangan syariah adalah tidak berbasis suku bunga sehingga lebih stabil menghadapi gejolak ekonomi global. Namun, perlu adanya mitigasi risiko yang kuat, termasuk keberadaan underlying asset yang sepadan dalam tiap transaksi,” tegasnya.
LKS juga perlu membina pelaku usaha agar memperluas pasar domestik guna mengantisipasi menurunnya permintaan ekspor. Dengan meningkatnya konsumsi produk dalam negeri, perekonomian bisa tetap tumbuh meski pasar internasional sedang terganggu.
Ninda Ardiani turut mengajak masyarakat untuk lebih mencintai produk lokal. “Kini sudah banyak produk Indonesia yang go global. Dengan membeli produk dalam negeri, kita mendukung pengusaha lokal, membuka lapangan kerja, dan memperkuat ketahanan ekonomi,” imbuhnya.
Dalam konteks literasi keuangan, Prodi Perbankan Syariah FAI Umsida telah aktif melakukan edukasi ke berbagai segmen masyarakat, termasuk guru TK Aisyiyah, sebagaimana ditulis dalam jurnal pengabdian masyarakat “Peningkatan Literasi Keuangan Islam Terintegrasi Digital Finance” oleh Ninda Ardiani dan tim. Melalui pelatihan tersebut, peserta dibekali konsep keuangan syariah, pengelolaan keuangan rumah tangga, hingga penggunaan aplikasi keuangan digital berbasis syariah.
Hasilnya menunjukkan bahwa 65% peserta mulai menyusun anggaran berbasis syariah, dan 60% mengurangi kredit konsumtif setelah mengikuti pelatihan. Pelatihan ini menjadi cermin bahwa literasi ekonomi Islam sangat relevan dalam menghadapi tantangan global dan membentuk masyarakat yang tangguh secara finansial dan spiritual.
Baca Juga: Sinergi Edukasi dan Pemberdayaan: Strategi Peningkatan Literasi Keuangan Syariah di Masyarakat
Dengan pandangan holistik, Prodi Perbankan Syariah FAI Umsida menegaskan komitmennya untuk mencetak lulusan yang peka terhadap dinamika ekonomi global, serta mampu menawarkan solusi alternatif berbasis syariah yang berkelanjutan. “Kami ingin mahasiswa tidak hanya cakap dalam teori, tetapi juga memiliki kepekaan terhadap isu-isu global dan mampu memberikan solusi berbasis nilai-nilai Islam,” pungkas Ninda.
Penulis: AHW
Sumber: Ninda Ardiani SEI MSEI