Perbankansyariah.umsida.ac.id – Dalam beberapa pekan terakhir, dunia ekonomi dikejutkan oleh lonjakan tajam harga emas yang menembus level US$ 4.000 per troy ounce.
Baca Juga: Peran Perbankan Syariah dalam Mendorong Pembangunan Berkelanjutan
Fenomena ini tidak hanya mengguncang pasar global, tetapi juga berdampak langsung pada harga emas di Indonesia yang kini mencapai sekitar Rp 2,36 juta per gram. Kenaikan tersebut menjadi cerminan kuat dari meningkatnya kekhawatiran investor terhadap ketidakpastian ekonomi global dan melemahnya nilai tukar rupiah.
Emas Jadi Simbol Kekhawatiran Global

Kenaikan harga emas bukanlah peristiwa yang berdiri sendiri. Fenomena ini dipicu oleh berbagai faktor seperti ketegangan geopolitik, perubahan arah kebijakan suku bunga bank sentral dunia, hingga fluktuasi nilai dolar AS. Dalam situasi seperti ini, emas kembali menjadi pilihan utama para investor sebagai aset lindung nilai (safe haven) yang dianggap paling aman saat pasar keuangan bergejolak.
Namun di balik tren positif bagi sebagian investor besar, lonjakan harga emas justru menghadirkan dinamika baru di tingkat masyarakat. Banyak individu yang beralih membeli emas bukan lagi untuk tujuan melindungi nilai kekayaan jangka panjang, melainkan karena tergoda peluang mendapatkan keuntungan cepat. Fenomena inilah yang kemudian dikenal sebagai perilaku spekulatif, yang berpotensi menimbulkan risiko ekonomi baru di tengah ketidakpastian global.
Bahaya Spekulasi dan Risiko Gelembung Harga

Fenomena spekulatif terhadap emas menciptakan paradoks dalam ekonomi masyarakat. Emas yang sejatinya berfungsi sebagai instrumen perlindungan kekayaan justru berubah menjadi alat perjudian finansial. Ketika sebagian besar masyarakat membeli emas dengan keyakinan bahwa harganya akan terus naik, pasar akan menghadapi risiko gelembung harga (price bubble).
Jika suatu saat terjadi koreksi harga, masyarakat kecil akan menjadi pihak yang paling rentan menanggung kerugian. Penurunan harga emas dapat menyebabkan daya beli menurun, konsumsi rumah tangga melemah, dan aliran dana produktif beralih ke aset tidak produktif. Akibatnya, kegiatan ekonomi riil seperti perdagangan, industri, dan investasi produktif bisa mengalami perlambatan.
Dosen ekonomi syariah Universitas Muhammadiyah Sidoarjo (Umsida) menjelaskan bahwa fenomena ini perlu diwaspadai sebagai bentuk distorsi perilaku keuangan masyarakat. “Bila masyarakat terlalu fokus pada investasi emas tanpa memahami risikonya, maka akan muncul pola ekonomi yang tidak sehat. Dana yang seharusnya mengalir ke sektor produktif justru mengendap di aset pasif,” ungkapnya.
Dampak terhadap Ekonomi Rumah Tangga dan Sosial
Bagi masyarakat kelas menengah ke bawah, tren spekulatif ini membawa dampak signifikan terhadap kestabilan keuangan rumah tangga. Banyak yang rela mengalihkan dana tabungan bahkan menggunakan pinjaman untuk membeli emas karena tergoda potensi keuntungan cepat. Padahal, jika harga emas berbalik turun, beban ekonomi justru semakin berat akibat kehilangan nilai aset dan kewajiban cicilan yang tetap berjalan.
Selain itu, perilaku spekulatif juga memperlebar kesenjangan sosial. Mereka yang memiliki modal besar dapat memanfaatkan volatilitas harga untuk meraih keuntungan, sementara masyarakat kecil hanya menjadi penonton atau korban perubahan harga yang ekstrem. Kondisi ini menimbulkan ketimpangan baru di masyarakat yang bertentangan dengan semangat pemerataan ekonomi nasional.
Tantangan Kebijakan dan Pentingnya Literasi Keuangan
Lonjakan harga emas yang disertai perilaku spekulatif menuntut perhatian serius dari otoritas moneter dan lembaga keuangan. Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) diharapkan memperkuat pengawasan terhadap penggunaan kredit untuk pembelian emas. Pembiayaan berbasis utang yang digunakan untuk tujuan spekulatif berpotensi menimbulkan risiko keuangan mikro jika tidak diatur secara ketat.
Selain itu, edukasi dan literasi keuangan masyarakat perlu ditingkatkan agar masyarakat memahami bahwa investasi bukan sekadar mengejar keuntungan cepat, melainkan tentang pengelolaan risiko dan keberlanjutan. Dalam konteks ini, lembaga keuangan syariah memiliki peran strategis untuk memberikan edukasi tentang konsep investasi halal dan etis, di mana setiap transaksi harus memiliki nilai kebermanfaatan dan produktivitas.
Kenaikan harga emas global seharusnya menjadi momentum bagi masyarakat untuk memahami esensi sejati dari investasi yang bijak. Emas memang simbol ketahanan ekonomi, tetapi bukan berarti menjadi jalan pintas menuju kekayaan. Tanpa pemahaman risiko dan prinsip kehati-hatian, emas bisa berubah dari aset lindung nilai menjadi sumber kerugian massal.
Baca Juga: Muhammadiyah Tetapkan Awal Puasa Ramadan 2026 pada 18 Februari
Dalam konteks ekonomi yang semakin tidak pasti, stabilitas sejati bukan diukur dari seberapa tinggi harga emas, tetapi dari kemampuan masyarakat mengelola keuangan dengan rasional, produktif, dan beretika. Oleh karena itu, baik pemerintah, lembaga keuangan, maupun masyarakat perlu menjaga keseimbangan antara rasionalitas ekonomi dan tanggung jawab moral agar kestabilan ekonomi nasional tetap terjaga di tengah gejolak global.
Sumber: Ninda Ardiani SEI MSEI
Penulis: Akhmad Hasbul Wafi












